Asimilasi Agama dan Budaya di Kaidipang Besar
Oleh : Ridwan Lasamano *)
Kaidipang Besar adalah sebuah Kerajaan yang berada di wilayah Bolaang Mongondow Utara saat ini, tepatnya terletak di wilayah Kaidipang dan Bolangitang, Kaidipang Besar dengan segala peradabannya yang ditorehka dalam tinta sejarah hingga saat ini.
Tulisan ini bukanlah bermaksud tentang sejarah masuknya Islam di Negeri Kaidipang dan Bolangitang, karena hal ini masih kontraversi dan belum ada literatur tertulis yang membahas ini secara spesifik. Namun penulis hanyalah ingin memaparkan sebuah fakta dalam Masyarakat Kaidipang Bolangitang, bahwa ada beberapa Upacara keagamaan yang berasimilasi dengan Budaya dan menjadi prosesi Adat. Masyarakat Kaidipang Bolangitang menyebutnya Haulo Opato, atau Haul yang empat.
Kalau kita menengok ke Daerah lain di Nusantara ini, Seperti Di Minangkabau dan yang paling Dekat tetangga Kita Daerah Gorontalo, mengambil perbandingan penerapan adat di daerah, mereka memiliki ungkapan “Adat besendi syara, Syara bersendi Kitabullah”. Maka sebenarnya di wilayah ini, telah memiliki ungkapan ini sejak dahulu kala yang termaktub dalam ungkapan “ Kuadato gu Ku Syara”, dimana dalam ungkapan ini singkat, padat dan jelas, terkandung pengertian bahwa Hukum agama dan Hukum adat di Kaidipang Bolangitang bahkan di Bolaang Mongondow Utara pada umumnya, adalah dua unsur yang berintergrasi dan saling menopang sehingga tak terpisahkan satu sama lainnya yaitu Agama dan Adat. Dan hal ini dapat kita saksikan secara langsung dalam setiap pelaksanaan acara Adat atau Agama.
Dalam tradisi religi dan adat masyarkat Kaidipang Bolangitang, dikenal pelaksanaan tradisi keagamaan yang disebut dengan Haulo opato atau haul yang empat. Atau pelaksanaan acara keagamaan yang erdiri dari empat jenis yaitu ;
1. Mo habaru Awalia Puasa (Mengabarkan awal pelaksanaan puasa ramadhan)
2. Mo habaru mo hari raya (Mengabarkan menjelang lebaran Idul fitri dan idul adha)
3. Mo maludu (Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW)
4. Mo meraji (Peringatan Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW)
Keempat acara inilah yang disebut dengan Haulo Opato karena terdiri dari empat jenis acara keagamaan. Pada dasarnya, pelaksanaan kegiatan Haulo Opato ini adalah tradisi keagamaan namun telah diadatkan sehingga menjadi acara adat. Untuk itu akan dibahas satu-persatu sebagai berikut :
MOHABARU AWALIA PUASA (Mengabarkan awal pelaksanaan puasa ramadhan)
Ketika menjelang bulan ramadhan tiba, pada saat ini berada dibulan sya’ban dalam tahun hijriyah, sebagaimana tradisi masyarakat daerah ini, mereka mengadakan acara Moharua Hula atau mengenang dan mendoakan para arwah orang yang telah mendahului ke alam akhirat. Acara Moharua hula dilaksanakan oleh masyarakat secara keluarga ataupun secara umum di Masyarakat desa. Oleh masyarakat setempat Bulan sya’ban dalam pelaksanaan doa arwah ini dinamakan sebagai bulan Hula Nonantobu koota noona mako, atau bulan memperingati orang atau leluhur yang telah mendahului.
Menjelang berakhirnya atau dipenghujung bulan sya’ban ini, dalam rangka menanti datangnya bulan ramadhan, secara adat di Desa, Sangadi mengutus Aparat desa, untuk mengundang Tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat mengadakan pertemuan ecara adat dengan Sangadi (Kepala Desa) membicarakan persiapan dalam rangka menghadapi bulan ramadhan. Dalam pertemuan ini dibicarakan tentang pelaksanaan Mohabaru atau mengabarkan kepastian tanggal satu ramadhan kepada pemerintah Kecamatan dalam hal ini Camat yang dalam kapasitas adat sebagai kepala adat di tingkat Kecamatan atau disebut Ombu Ulea. Dalam pertemuan ini, Sangadi menghunjuk dua orang masyarakat yang mewakili unsur Ku syara gu kuadato, Menghadap Camat dalam rangka pelaksanaan mohabaru ini.
Setelah dihunjuk, kedua utusan ini berangkat menghadap Camat, dan dihadapan Camat mereka membawa atas nama sangadi dan Masyarakat Desa, dengan maksud untuk memohon kepastian tanggal satu ramadhan. Walaupun secara tekhnis saat ini bahwa penentuan tanggal satu ramadhan dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI, melalui Tim hisab dan rukyat, yang hasilnya diumnunkan oleh Menteri Agama secara rsmi.
Maksud dari perjalanan kedua utusan adat dan utusan syara menghadap Camat adalah sebagai bentuk warisan peradatan dari pendahulu negeri ini, dalam rangka komunikasi dan silaturahmi antara rakyat dan pemimpinnya dalam menghadapi Bulan Suci Ramadhan.
Oleh camat atau Ombu Ulea, utusan ini disambut secara adat pula dengan beberapa penyampaian bahwasannya menyambut dan menerima dengan baik kedatangan para utusan adat dan utusan syara ini, dilanjutkan dengan petunjuk dari Camat bahwa kepastian satu Ramadan menunggu penetapan dari tim hisab rukyat dan pengumuman resmi dari Menteri Agama. Dan juga pesan-pesan untuk disampaikan kepada Pemerintah desa dan masyarakat untuk senantiasa tetap menjaga persatuan dan kesatuan, kerukunan diantara para warga, dan hal-hal lain sehubungan dengan bulan Ramadhan.
Adapun kegiatan adat ini dilaksanakan sebagai sebuah bentuk perwujudan integritas dan penyatuan unsur agama dan adat yang tercermin sepenuhnya dalam ungkapan “Kusyara gu Kuadato” , dimana pemerintah disamping sebagai penyelenggara Negara dalam bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, juga mempunyai tanggung jawab besar terhadap pelaksanaan kegiatan keagaman. Ini juga sebuah pencerminan ketaatan masyarakat terhadap Ulil Amri atau pemimpin, yang secara adat di daerah ini diistilahkan dengan Khaliifah.
Sekembalinya kedua utusan ini ke desa, langsung menghadap pada Sangadi, menyampaikan amanat yang disampaikan oleh Camat untuk pemerintah desa dan masyarakat. Selanjutnya tinggal menantikan pengumuman secara resmi dari dari Menteri agama. Selanjutnya Sangadi kembali mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh adat untuk menyampaiikan hasil dari perjalanan kedua utusan ini, dan menjelang malam bulan satu Ramadan, berkumpul dimesjid untuk bersiap menanti pengumuman satu ramadhan.
Setelah dimulainya puasa ramadhan, Tokoh adat dan tokoh agama menghadap Sangadi untuk membicarakan tentang kegiatan Momulai Kuruani atau memulai Tadarus Alqur’an, yang untuk selanjutnya dibaca seterusnya sebulan penuh. secara adat bahwa pembacaan Tadarus AlQur’an ini dinamakan Kuruanii Sangadi atau Pembacaan Alqur’an yang merupakan kegiatan secara adat dari pemerintah desa dalam hal ini Sangadi.
Pembacaan atau tadarus Alqur’an ini dilaksanakan sesiudah shalat tarawih dan witir secara berjamaah dimesjid. Tadarus ini dilaksanakan pada setiap malam selama bulan Ramadan yang akan membaca dua juz Alqur’an setiap malam, sehingga pada malam ke lima belas atau sering disebut Gubiio nia kunuto, pembacaan Alqur’an ini selesai dibaca dan di khatam pada malam ke lima belas bertepatan dengan pembacaan doa qunut pada setiap rakaat terakhir sholat witir. Setelah dikhatam pada malam kelima belas, selanjutnya dimulai lagi pada malam ke enam belas, dan kembali dikhatam pada malam terakhir bulan ramadhan atau disebut Malam takabiru atau Malam takbiran menjelang esoknya tanggal satu syawal atau pelaksasnaan hari raya idul fitri.
MOHABARU HARI RAYA (Mengabarkan pelaksanaan Hari raya idul fitri atau idul adha)
Sebagaimana pada awal pelaksanaan puasa Ramadan dilaksanakan kegiaan adat Mohabaru, maka pada menjelang akhir dari pelaksanaan puasa Ramadan dalam rangka menyambut hari raya idul fitri juga akan dilaksanakan kegiatan serupa. Pelaksanaannya sama dengan pelaksanaan Mohabaru awalia puasa , yaitu Sangadi selaku kepala adat mengutus dua orang kurir adat ke kecamatan menghadap Camat. Namun yang berbeda dalam pelaksanaan ini yaitu materi penyampaian, disamping mengabarkan pelaskanaan hari raya idul fitri, juga kedua utusan ini menyampaikan kepada camat tentang pelaksana yang akan bertugas pada Shalat hari raya idul fitri, yaitu Imam, Khatib dan Bilal.
Penentuan tentang petugas ini dimusyawarahkan oleh seluruh masyarakat , selanjutnya hasil musyawarah penentuan ini disahkan oleh Sangadi dengan Keputusan. Dan ketiga nama ini dibawa dan disampaikan kepada Ombu Ulea atau Camat oleh kedua utusan adat ini. Juga dalam perjalanan ini disamping melaporkan hal tersebut atas, juga membawa amanat dari pemerintah dan masyarakat desa, untuk memohon / meminta materi khutbah kepada camat, makanya seringkali kegiatan ini dinamakan Mai mogule khutubah atau memohon khutbah, proses kepergian dan kembalinya kedua utusan utusan ini sama halnya seperti pada awal puasa.
Setelah dilaksanakan hari raya, maka masih ada lagi satu kegiatan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah desa, yaitu Mai mogunturu khutubah atau mengantar khutbah, prosesi ini dilaksanakan karena pada saat menjelang hari raya ada prosesi meminta khutbah, maka secara logika, sesuatu ( khutbah) yang diminta tadi, selesai pelaksanaan hari raya harus juga diantar pada yang memberi dalam hal ini camat.
Berbeda dengan mohabaru yang hanya mengutus dua orang unsur kusyara dan kuadato, maka dalam mogunturu khutubah ini disertai oleh seluruh tokoh agama, tokoh adat, dan pemerintah desa dalam hal ini Sangadi. Perjalanan mengantar khutbah atau mogunturu khutubah ini, bermakna sebagai bentuk ketaatan dan silaturrahmi dari dari masyarakat dan pemerintah desa kepada jenjang pemimpin yang lebih tinggi, setelah selesai melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh. Secara Nasional kegiatan ini seperti pelaksanaan Open House di tingkat nasional oleh pemimpin Negara kepada rakyatnya.
Inilah rangkaian kegiatan adat saat pelaksanaan ibadah puasa ramadhan sejak dari awal, pertengahan dan sesupah ramadhan atau hari raya idul fitri. Kegiatan Mohabaru mo hari raya dan Mogunturu hutubah ini, juga dilaksanakan pada hari raya Idul Adha atau hari raya Qurban. Di Bolaang Mongondow Utara, Kegiatan Mohabaru dilaksnakan secara berjenjang (Hierarki) pada tingkatan yang lebih tinggi, dalam hal ini pemerintah dan tokoh masyarakat kecamatan kepada pemerintah kabupaten (Bupati).Pada dasarnya praktek pelaksanaan adatnya sama dengan yang di Desa, yang berbeda hanyalah tingkatan Level.
MALUDU (Maulid Nabi SAW)
Pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad SAW dilaksanakan oleh sebagian besar Ummat Islam di Dunia, Termasuk Ummat Islam di Indonesia. Hal ini dilaksanakan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW, mengenang semua tentang kemuliaan, perjuangan, dan keagungan beliau, sehingga dengan perayaan ini semakin menambah kecintaan kepada beliau dan ajaran beliau.
Di Bolangitang dan Kaidipang, (bahkan secara umum di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara), Kegiatan keagamaan maulid ini diisi dengan pelaksanaan adat sebagai perwujudan dari asimilasi atau pembauran antara ajaran agama dan aturan adat. Secara garis besar ada dua jenis perayaan ini, yaitu dilaksanakan secara Nasional dan secara Tradisional. Secara Nasional, pelaksanaannya seremonial pada umumnya dengan kemasan acara resmi, diadakan ceramh untuk memberikan pencerahan keagamaan dan siraman rohani kepada ummat islam, yang dikemas dengan sambutan pemerintah (Yang tertinggi hadir saat acara)
Berbeda halnya kalau dilaksanakan secara tradisional, maka akan diatur secara adat oleh para pemangku adat dibawah arahan pemerintah setempat. Sesuai tradisi akan diadakan acara Mo Zikilo atau berzikir sepanjang malam sampai pada besok siangnya. Pembacaan zikir ini dilaksanakan dimesjid, sedangkan yang dibaca adalah kitab “Khusus” yang memuat tentang riwayat hidup Nabi SAW, yang dibaca dan dilagukan sesdemikian rupa dengan irama tertentu yang konon mengandung nuansa supranatural.
Pada saat ini, orang yang ahli dalam membaca kitab zikilo ini sudah langka, kebanyakan hanyalah orang-orang yang sudah tua, bahkan di Kecamatan Bolangitang sendiri hanya ada beberapa desa yang terdapat orang-orang yang ahli melafazkan dan melagukan zikilo ini, diantaranya hanya terdapat di desa Talaga, Tomoagu, Jambusarang, Sonuo, paku, Saleo, Bohabak dan Biontong. Itupun sudah sangat terbatas jumlahnya.
Para pembaca Zikilio ini mereka solid dalam satu kelompok disatu desa, dimana dalam kelompok ini terdapat seorang yang disebut, Ahalulu atau semacam orang yang dianggap sebagai pemimpin dalam kelopmpok, Ahalulu ini bertanggung jawab mengarahkan para pembaca agar seirama dalam melagukannya, bahkan Ahalulu ini mempunyai suara yang merdu sehingga bisa mengguggah orang yang mendengar bacaan atau lafaz zikir ini.
Dalam acara Mozikilo ini dimulai pada jam Sembilan malam, dilaksanakan semalam suntuk dan berakhir pada jam sepuluh pagi besok harinya. Sebelum dimulainya acara mozikilo ini, terlebih dahulu diawali dengan penyampaian kata-kata adat oleh pemangku adat yang disebut Mogukato maksuudu atau memaparkan maksud dengan bahasa adat, karena acara ini dihadiri oleh pemerintah. (Pada tahun 2009, dilaksanakan secara adat besar-besaran untuk tingkat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara yang di pusatkan di Mesjid Multazam Bolangitang).
Perayaan maulid dengan cara adat ini, diadakan pembuatn Palelato atau hidangan makanan yang dirangkai sedemikian rupa apik, dengan seni wrisan tradisional yang berbentuk seperti kubah mesjid yang berisi beraneka ragam makanan, kemudian dihiasi dengan beraneka ragam kreasi, juga dipasang bendera-bendera kecil dari kertas yang bertuliskan nama Nabi SAW dan para Sahabat Beliau yang empat.
Palelato ini diletakkan di hadapan para pembaca zikir dan hanya akan dibuka sesudah selesainya pembacaan zikilo, bahkan membuka rangkaian ini juga dengan ritual adat.
Setelah selesai acara zikir maulid ini, diakhiri dengan pembacaan doa yang menandai berakhirnya prosesi adat ini.
Akhir-akhir ini, karena keterbatasan para ahli dalam membaca zikilo ini, maka walaupun dilaksanakan secara tradisional, namun terkadang tidak lagi diadakan acara Mozikilo, tapi hanya cukup diisi dengan membaca kitab barzanji. Walaupun tidak dengan Mozikilo, tetapi tetaplah mengikuti jalur peradatan sebagaimana dijelaskan dimuka. Inilah ritual tradisi yang diatur dengan adat oleh masyarakat Bolangitang dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
MEIRAJI (Perayaan Isra dan Mi’raj Nabi SAW)
Isra dan mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah sebuah persistiwa historis dalam sejarah peradaban islam, sebuah perjalanan suci, perintah langsung dari Allah SWT yang diabadikan dan didokumentasikan secara tertulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Peristiwa ini merupakan sebuah anugerah kepada Nabi Muhammad SAW dan juga merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang diimplementasikan kepada hamba yang terkasihnya, sehingga peristiwa ini mengundang berbagai reaksi dari manusia pada zaman itu, dizaman ini dan dizaman akan datang.
Peristiwa perjalanan Nabi dari mesjid Al Haram ke mesjid Al Aqsa di palestina yang selanjutnya menuju ke Sidratul Muntaha, merupakan simbol dimensi kemanusiaan dan dimensi ketuhanan. Peristiwa ini sangat bersejarah dan dikenang oleh ummat islam bahkan difikirkan oleh ummat lain sepanjang umur dunia.
Proses mengenang peristiwa keagamaan yang maha agung ini, juga tak luput dari napak tilas yang akan dilaksanakan oleh masyarakat religius dan masyarakat beradat disebuah negeri warisan leluhur yang bernama Bolangitang.
Masyarakat di daerah ini, dalam merayakan peristiwa isra’ mi’raj ini, melaksanakan kegiatan keagamaan yang berbaur dengan adat di daerah ini.
Seperti halnya pada perayaan maulid, tata cara pelaksanaannya ada yang secara nasional dan ada yang tradisional. Perayaan secara nasional dibuat acara sebagaimana yang dilaksanakan pada perayaan maulid. Perayaan secara tradisional inilah yang dilaksanakan dengan adat, yaitu dibacakan riwayat isra mi’raj oleh seseorang yang memiliki keahlian dalam melafalkan dan melagukan riwayat ini. Dalam istilah tradisionalnya disebut Moriwayato atau meriwayatkan.
Penulis sendiri, berdasarkan keingintahuan tentang riwayat ini, menelusuri secara langsung keberadaan dari pembacaan riwayat ini dari seorang tua yang ahli dan meniliki kitab riwayat ini, “Kitab khusus” ini berbahasa Melayu lama dan berhuruf Arab melayu yang disebut huruf begon, bertuliskan huruf arab, tapi berbahasa Melayu lama. Penulis sendiri mencoba untuk membacanya, tapi ternyata memang agak sulit karena harus menyesuaikan antara huruf dengan bahasa yang berbeda.
Menurut keterangan dari orang yang ahli membaca ini, perlu dipelajari secara mendetail baik cara membacanya maupun melagukannya.
Konon kitab yang sudah usang dimakan usia ini adalah warisan dari para pegawai syar’I atau lebi dizaman dahulu pada awal masuk dan berkembangnya islam di Bolangitang, yang diwariskan dari generasi ke generasi sehingga penulis pernah terfikir ide untuk memperbaharui dengan menyalin kedalam huruf Indonesia, sehingga kitab riwayat ini akan tetap lestari sepanjang masa, walaupun akhir-akhir ini sudah jarang orang yang peduli dengan hal ini, namun paling minimal hal ini bisa dilihat oleh generasi yang akan datang.
Pelaksanaan acara perayaan dengan cara tradisional ini, dilaksanakan dimesjid, dihadiri oleh seluruh jamaah mesjid untuk mendengarkan pembacaan riwayat isra mi’raj dari kitab riwayat yang dibacakan oleh ahlinya ini. Riwayat dengan versi melayu ini, sangat panjang, juga dalam pembacaannya yang harus dilagukan sehingga memakan waktu sekitar tujuh jam, dimulai sesudah shalat isya dan berakhir sekitar jam dua malam. Biasanya pembacanya terdiri dari dua ornang sehingga membcanya secara bergantian.
Sebelum pembacaan riwayat ini dimulai, didahului dengan pembukaan dengan kata-kata adat oleh pemangku adat, yang akan membuka acara,memaparkan maksud acara yang disebut Mogukato Maksuudu yang akan mengantarkan pada prosesi pembacaan riwayat dari kitab khusus ini.
Setelah selesai pembacaan riwayat ini, dilanjutkan lagi dengan pembacaan doa, yang juga diawali dengan Modoa Bulangita atau pembacaan doa dalam bahasa Bolangitang / Kaidipang,yang disampaikan secara adat, dan dilanjutkan dengan pembacaan doa penutup dipimpin oleh pegawai syar’I diikuti seluruh jamaah yang hadir.
Sampai hari ini, Tradisi keagamaan yang kami paparkan diatas masih tetap dilaksanakan oleh Masyarakat Bolangitang, hal ini tidaklah berdiri sendiri tetapi ada sebuah fakta sejarah yang akan terungkit, bahwa dimasa lalu Agama adalah menjadi aspek terpenting dalam masyarakat Bolangitang, sehingga harus terjadi pembarengan antara agama dan adat. Ini adalah merupakan kekayaan budaya yang akan terus lestari hingga akhir zaman.
Penulis bukanlah bermaksud memancing kontroversi pembaca dengan bermain-main diwilayah khilafiyah dengan mengetengahkan percampuran antara adat dan agama. Yang kami deskripsikan hanyalah fakta yang terjadi di Masyarakat sampai hari ini. Bersambung.
*) Penulis adalah Jurnalis tingkat Muda PWI Bolmut dan juga masuk sebagai salah pengurus DMI Bolmut.